Monday, May 7, 2007

lets dance


sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindorosindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro sindoro oh sindoro

Monday, April 30, 2007

kami pantas!!


pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!! pokoknyah sikat abiiiss!!

Sunday, April 15, 2007

Paak Kabid


hwuf, kenapa saya difitnah disini!taik semuwa nyah!
saya tentu tak mungkin diam saja kan.. huehuhuehu..
ngajak perang kok koya.. salah musuh andah, gwuakakakakaaak!
saya senang, saya akan selalu memberi lebih dari yang anda beri..

tak perlu banyak bicarah, photoh berikut adalah fakta adanya.

nb : saya hanya korban dari thread tak mutu sangat ini, saya hanya bertahan..
photo yang laen akan segera doposting, rupa siapa yang akan nampak?!

freak kOy will infect your life
i am moving, you are nothing

Friday, April 13, 2007

move freedome!

LENIN

PELAJARAN DARI PEMBERONTAKAN MOSKOW

Buku Moskow pada bulan Desember 1905 (Moscow, 1906) diterbitkan tepat pada waktunya. Tugas mendesak partai buruh adalah menyerap pelajaran dari pemberontakan bulan Desember. Sayangnya, buku tersebut seperti satu tong madu yang dinodai satu sendok getah: banyak hal yang menarik--disamping ketidaksempurnaannya-- dan kecerobohan yang luar biasa, serta kesimpulannya yang salah. Kita akan membahas kesimpulan itu di lain waktu. Sekarang kita hanya akan memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan politik menarik dari waktu itu, pelajaran dari pemberontakan Moscow.

Bentuk-bentuk mendasar dari gerakan Desember di Moscow adalah perjuangan berupa pemogokan-pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi damai, dan hanya bentuk perjuangan inilah yang diikuti oleh sebagian besar kaum buruh. Namun aksi-aksi pemberontakan tersebut, jelas-jelas memperlihatkan bahwa pemogokan umum, sebagai suatu bentuk pokok perjuangan dan berdiri sendiri, sudah ketinggalan jaman; kekuatan-kekuatan tersebut tak terbendung lagi, berhasil menghancurkan ikatan-ikatan sempit yagn melingkupinya dan meningkat menjadi bentuk perjuangan yang lebih tinggi, pemberontakan.

Dalam seruannya untuk melakukan pemogokan-pemogokan umum, semua partai-partai revolusioner, semua serikat-serikat buruh Moskow mengakui dan secara intuitif merasa bahwa gerakannya niscaya akan membesar dan meluas menjadi suatu pemberontakan umum. Pada 6 Desember, Soviet-soviet Perwakilan Buruh mengeluarkan resolusi supaya "berusaha mengubah pemogokan menjadi suatu pemberontakan bersenjata". Tetapi, pada kenyataannya, tak satu organisasi pun siap melaksanakannya. Bahkan Dewan Gabungan Kesatuan Sukarelawan Pejuang menyatakan (pada 9 Desember) bahwa pemberontakan sebagai sesuatu yang masih jauh, dan terbukti bahwa mereka tidak bisa mengendalikan pertempuran yang terjadi di jalan-jalan. Organisasi-organisai tersebut telah gagal mewadahi perkembangan dan perluasan gerakan.

Pemogokan terus berkembang menjadi pemberontakan, terutama sebagai akibat tekanan kondisi obyektif yang tercipta sesudah bulan Oktober. Kini suatu pemogokan umum sudah tidak bisa membuat pemerintah terkejut: mereka sudah membentuk satuan-satuan kontra-revolusioner, dan sudah siap melaksanakan tindakan militer. Seluruh rangkaian revolusi Rusia sesudah Oktober, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya di Moscow pada bulan Desember secara mengejutkan membenarkan dalil-dalil Marx: revolusi bergerak maju dengan adanya kesempatan penguatan dan semakin bersatunya gerakan kontra-revolusioner,, misalnya dengan memaksa lawannya untuk bertahan secara ekstrim, sehingga harus ada perencanaan yang matang untuk melakukan serangan yang lebih ampuh lagi.

Tanggal 7 dan 8 Desember: pemogokan damai, demonstrasi massa damai. Pada malam tanggal 8: siaga di Aquarium. Pagi hari tanggal 9: kerumunan massa di Strastnaya Square diserang oleh satuan-satuan serdadu. Malam harinya, gedung Fielder diserbu. Kemarahan meningkat. Kerumunan massa di jalanan, yang tak teroganisir, secara spontan dan ragu-ragu, mulai memasang barikade-barikade.

Tanggal 10 Desember: satuan-satuan artileri mulai menyerang barikade-barikade dan kerumunan massa di jalanan. Barikade-barikade dipasang secara lebih teliti, dan tak lagi terpisah-pisah, tapi skalanya massal. Hampir seluruh warga kota tumpah di jalan-jalan dan seluruh pusat-pusat kota dikelilingi oleh barikade-barikade. Dalam beberapa hari, unit-unit sukarelawan secara gerilya melakukan pertempuran melawan serdadu, dengan pantang menyerah membuat serdadu kelelahan dan memaksa Dubasov (gubernur militer Moskow, pent) meminta bala bantuan. Baru pada 15 Desember, pasukan pemerintah bisa menguasai kota secara penuh, dan, tanggal 17 Desember, Resimen Semenov berhasil menyerbu distrik Presnya, benteng terakhir dari pemberontakan.

Dari pemogokan dan demonstrasi menjadi barikade yang terpencar-pencar. Dari barikade yang terpencar meningkat menjadi barikade yang menyeluruh dan melakukan pertempuran di jalan-jalan melawan serdadu. Melampaui pimpinan-pimpinan organisasinya, perjuangan massa proletariat meluas dari suatu pemogokan menjadi pemberontakan. Ini adalah hasil sejarah terbesar dari Revolusi Rusia yang dicapai bulan Desember 1905; dan seperti semua hasil sejarah, ia harus dibayar dengan sejumlah besar pengorbanan. Pergerakan meninggi dari pemogokan umum politis ke tahap yang lebih tinggi. Ia memaksa kaum reaksioner pada batas perlawanannya, dan berarti juga semakin dekatlah waktunya karena revolusi juga akan terseret untuk mematangkan alat-alat penyerangannya. Kaum reaksioner tidak bisa bertindak lebih jauh ketimbang membom barikade-barikade, rumah-rumah, dan kerumunan massa di jalan-jalan. Tetapi revolusi bisa bergerak lebih jauh lagi melampaui unit-unit gerilya kota Moskow, ia dapat, dan dapat lebih meluas dan mendalam. Dan revolusi sedang bergerak maju sejak Desember. Syarat-syarat krisis revolusioner sudah menjadi lebih lengkap--pisau itu harus diasah lebih tajam lagi.

Kaum proletariat lebih cepat sadar ketimbang para pemimpinnya bahwa kondisi obyektif sedang berubah dan perlunya peralihan dari pemogokan ke pemberontakan. Sebagaimana biasa, praktek lebih maju ketimbang teori. Suatu pemogokan dan demonstrasi yang damai tiba-tiba tidak mampu memuaskan buruh:_ mereka bertanya: Apa tindakan kita selanjutnya ? Dan mereka menuntut aksi yang lebih tegas. Instruksi-instruksi untuk memasang barikade-barikade sampai ke distrik tersebut begitu terlambat, ketika barikade-barikade sudah dipasang di sekeliling kota. Kaum buruh dalam jumlah besar bekerja untuk itu, tetapi ini juga tidak memuaskan mereka; mereka ingin tahu, apa tindakan selanjutnya -- mereka menuntut tindakan yang lebih tegas lagi. Dalam bulan Desember, kita, para pimpinan Sosial-Demokrasi proletariat, layaknya panglima perang yang mengirim pasukan dengan cara yang aneh hingga sebagian besar pasukan tidak ambil bagian dalam pertempuran. Massa kaum buruh menuntut, tetapi tidak menerima instruksi perlunya aksi massa yang tegas.

Jadi, tidak ada pandangan yang lebih picik ketimbang Plekhanov, yang diikuti oleh semua kaum oportunis, yang mengatakan bahwa pemogokan belum waktunya dan seharusnya tidak dimulai, dan " mereka tidak seharusnya membawa senjata". Sebaliknya, kita harus mempersenjatai diri lebih kuat, energik dan agresif; kita harus menjelaskan kepada massa bahwa mustahil membatasinya sekedar menjadi pemogokan damai, dan pertempuran bersenjata yang tanpa takut dan pantang menyerah harus dilancarkan. Dan kini kita harus akui secara terbuka dan mempublikasikan bahwa pemogokan politik saja tidak cukup; kita harus melancarkan agitasi seluas mungkin pada massa dalam kerangka perlunya pemberontakan bersenjata dan tidak mengaburkan masalah ini dengan pembicaraan soal "tahap-tahap awal" atau menutup-nutupinya dengan berbagai cara. Kita sudah mengkhianati diri sendiri maupun rakyat jika kita menjauhkan massa dari pentingnya mengambil tindakan, perang berdarah yang habis-habisan, sebagai tugas mendesak dari aksi revolusioner mendatang.

Begitulah pelajaran pertama dari peristiwa Desember. Pelajaran lain adalah soal watak pemberontakan tersebut, metode-metode yagn digunakannya, dan bagaimana kondisinya sehingga serdadu bisa berpihak ke rakyat. Kekacauan pandangan yang sangat ekstrim mengenai hal ini ada pada sayap Kanan Partai kita. Mereka mengatakan bahwa mustahil melawan serdadu modern; serdadunyalah yang harus revolusioner. Tentu saja, jika revolusi tidak berwatak massa dan mempengaruhi serdadu, tidak ada pertanyaan lagi tentang perjuangan yang serius. Bahwa kita perlu bekerja di kalangan serdadu, tak perlu dikatakan lagi. Tetapi jangan mimpi mereka akan bergabung dengan kita dalam sekali pukul karena bujukan atau karena kesadaran mereka sendiri. Pemberontakan Moskow membuktikan betapa menyimpang dan cacatnya pandangan ini. Fakta memperlihatkan bagaimana gelombang serdadu yagn ragu-ragu ini, yang tak terelakkan dalam gerakan rakyat sejati, dibawa ke pertarungan nyata-nyata melawan serdadu ketika perjuangan revolusioner semakin genting. Pemberontakan Moskow secara persis adalah contoh perjuangan yang melelahkan bagi serdadu dalam pertarungan yang terjadi antara kaum revolusioner dan reaksioner. Dubasov sendiri menyatakan bahwa dari 15.000 serdadu garnisun Moskow, hanya 5000 yang terpercaya. Pemerintah memperlakukan mereka dengan beragam cara-cara keras : menghimbau, memuji, menyogok, memberi hadiah dll, menipu mereka dengan vodka, mengancam, mengurungnya dan melucutinya dan mereka yang dicurigai dihabisi dengan kejam. Dan kita harus mengakui, secara terbuka dan tulus, bahwa dalam hal ini kita ketinggalan dari pemerintah. Kita gagal menggunakan kekuatan serdadu yang ragu-ragu itu pada pihak kita dengan langkah yang aktif, berani, sepenuh daya dan agresif sebagaimana yang dilakukan pemerintah. Kita telah bekerja di kalangan serdadu dan kita akan melipatgandakan usaha kita digaris depan secara ideologis "memenangkan" mereka. Tapi kita akan terbukti sebagai orang sombong yang malang jika kita melupakan bahwa pada saat pemberontakan akan ada juga perjuangan fisik untuk serdadu-serdadu tersebut.

Hari-hari di bulan Desember, kaum proletariat Moskow memberi pelajaran yang luar biasa tentang bagaimana secara ideologi "menang atas" mereka. Contohnya, 8 Desember di Strastnaya Square, ketika kerumunan massa dikepung oleh satuan Cossack, didekati dan diyakinkan agar mereka berbalik. Atau 10 Desember, di distrik Presnya, ketika dua orang buruh gadis, membawa bendera merah diantara 10.000 kerumunan massa, maju ke depan menemui serdadu Cossack dan berteriak: "Bunuh kami ! Kami tak akan menyerahkan bendera !" Dan serdadu Cossack malu lalu mundur, diiringi teriakan massa : "Hidup Cossack, Hidup Cossack!" Contoh keberanian dan heroisme ini harus disimpan dalam-dalam di benak kaum proletariat.

Tetapi ini contoh lagi bagaimana kita tertinggal oleh Dubasov. Pada tgl. 9 Desember serdadu berpawai sepanjang jalan Bolshaya Serpukhosvskaya sambil menyanyikan lagu Marseillaise dalam perjalanannya bergabung dengan satuan-satuan pemberontak. Kaum buruh mengirim wakilnya menemui mereka. Malakov (Komandan Militer Moscow, pent.), sendiri mengejar mereka. Kaum buruh sudah terlambat, Malakov sudah menemui mereka lebih dulu. Ia memberikan pidato yang menyentuh, membuat serdadu mundur dan akhirnya dikepung oleh serdadu Tsar dan mengancam mereka agar kembali ke barak dan mengurung mereka. Malakov berhasil mendekati mereka sedang kita tidak, meskipun dalam dua hari 150 ribu orang turun ke jalan atas seruan kita, yang bisa dan harus diorganisir mematroli kota dan jalan-jalan. Malakov mengepung serdadu-serdadu itu dengan pasukannya, sementara kita gagal mengepung Malakov dengan lemparan-lemparan bom. Seharusnya kita bisa dan harus lakukan ini; Pers demokratik (Iskra Lama) menunjukkan bahwa penghancuran pejabat-pejabat sipil dan militer adalah tugas utama kita selama pemberontakan. Apa yang terjadi di jalan Bolshaya Serpukhoskaya nampaknya mengulangi ciri-ciri pokok peristiwa di depan barak-barak Newizhskiye dan Krutitskiy dan ketika kaum buruh berusaha "mengalahkan" resimen Ekaterinoslav, dan pada saat delegasi dikirim menemui para pembelot di Alexandrov dan ketika satuan artileri Rostov dalam perjalanannya ke Moskow berbalik, dan ketika para pembelot dilucuti di Kolomna, dll. Selama saat-saat pergolakan kita terbukti berat sebelah dalam menangani serdadu-serdadu pembelot.

Peristiwa-peristiwa bulan Desember meneguhkan dalil Marx yang sengaja dilupakan oleh kaum oportunis yaitu bahwa insureksi merupakan seni dan prinsip penentu seni ini adalah melancarkan serangan yang terarah dan tegas. Kita tidak mengambil kebenaran ini. Kita sendiri tidak cukup belajar dan juga tidak mengajari massa soal seni ini, tata cara menyerang dengan segala resikonya. Kita harus benar-benar kita harus mengusahakan hal ini dengan seluruh tenaga kita. Tidak cukup hanya mengurusi masalah slogan-slogan politik; juga sangat penting mengambil bagian dalam masalah pemberontakan bersenjata. Mereka yang menentang ini, yang tidak siap dengan ini, harus dibuang dari jajaran penyokong revolusi, dianggap sebagai musuh, pengkhianat, atau pengecut; ketika tiba saatnya, kejadian-kejadian dan syarat-syarat perjuangan akan memaksa kita memilah mana kawan dan mana lawan berdasarkan prinsip ini. Bukan hal yang pasifisme (perdamaian) yang harus kita teriakkan, bukan "menunggu" sampai serdadu-serdadu tersebut "datang sendirii". Kita harus meneriakkan dari atap rumah kita perlunya serangan yang berani dan bersenjata, perlunya membasmi komandan-komandan serdadu musuh, dan pertarungan yang pantang menyerah atas serdadu-serdadu yang ragu.

Pelajaran terbesar ketiga yang diberikan oleh pemberontakan Moskow adalah soal taktik dan organisasi dari kekuatan-kekuatan pemberontak. Taktik militer tergantung pada level teknik militer. Kebenaran pokok ini ditunjukkan oleh Engels dan dittujukan bagi semua kaum Marxist. Teknik militer dewasa ini bukan lagi seperti paruh abad ke-19. Adalah gila menghadapkan kerumunan massa dengan satuan-satuan artileri dan mempertahankan barikade hanya dengan revolver. Kautsky benar ketika menulis bahwa kini saatnya, setelah Moskow, untuk merevisi kesimpulan-kesimpulan Engels, dan bahwa Moskow melahirkan "taktik-taktik barikade baru". Taktik ini adalah taktik perang gerilya. Organisasi yang diperlukan adalah yang mobile dan berupa unit-unit kecil, unit yang terdiri dari sepuluh orang, tiga, bahkan 2 orang. Kita sering mendengar orang-orang Sosial-Demokrasi yang berdehem mendengar unit-unit lima atau tiga orang. Tetapi itu adalah cara yang murahan untuk menghindari pertanyaan baru dalam taktik dan organisasi yang dihasilkan oleh pertempuran di jalan-jalan yang dipaksakan oleh teknik militer modern. Pelajarilah secara seksama jalannya pemberontakan Moskow, tuan-tuan dan anda akan paham kaitan antara "unit lima orang" dengan masalah "taktik barikade baru".

Moskow mendorong maju ini, tapi gagal memperluasnya, menerapkannya sampai sejauh mungkin, dengan massa yang lebih besar. Terlalu sedikit sukarelawan gerilya kota, slogan menyerang secara tegas juga tidak diberikan kepada massa buruh dan mereka tidak menerapkannya; detasemen gerilya terlalu beragam wataknya, senjata dan metodenya banyak yang tidak memadai, kecakapan memimpin massa tidak berkembang. Kita harus perbaiki semua ini dengan cara belajar dari pengalaman pemberontakan Moskow, dengan menyebarkan pengalaman ini ke massa dan mendorong usaha-usaha kreatif untuk meluaskan pengalaman itu. Sementara itu perang gerilya dan teror massa yang tanpa henti terjadi di seluruh Rusia sejak Desember, pastilah membantu massa belajar dalam membenahi taktik yang benar dalam pemberontakan. Kaum Sosial-Demokrat harus mengakui pentingnya dan memasukkan teror massa ini dalam taktiknya, dan tentu saja mengorganisir dan mengendalikannya, mendudukkannya di bawah kepentingan dan syarat-syarat gerakan klas pekerja dan perjuangan revolusioner secara umum, sambil memberantas tanpa ampun "premanisme" dalam perang gerilya ini yang dengan bagus dan secara gagah dan tanpa ampun dijalankan oleh kawan-kawan kita selama pemberontakan Moskow dan oleh kaum Letts selama hari-hari pendirian republik Letts yang terkenal itu.

Dewasa ini terdapat perkembangan-perkembangan baru dalam teknik miiter. Perang dengan Jepang menghasilkan granat tangan. Pabrik-pabrik senjata ringan telah menjual senapan-senapan otomatik ke pasar. Kedua senjata ini berhasil digunakan oleh kaum revolusioner Rusia, tetapi pada tingkatannya masih jauh dari memadai. Kita bisa dan harus memanfaatkan kemajuan teknik, melatih satuan-satuan buruh membuat bom dalam jumlah yang besar, membantu mereka dan unit-unit tempur kita, guna memperoleh pasokan bahan peledak, mesiu dan senapan otomatik. Bila massa kaum buruh ambil bagian dalam pemberontakan di kota-kota, bila massa mulai menyerang kubu-kubu musuh, dan bila pertarungan yang gigih dan terlatih membimbangkan para serdadu, setelah orang-orang Duma, Sveaborg dan Kronstads semakin lebih bimbang dari sebelumnya-- dan jika kita memastikan keiktusertaan kaum pedesaan dalam perjuangan umum-- maka kemenangan akan menjadi milik kita dalam pemberontakan bersenjata seluruh Rusia nanti.

Karena itu, mari kita, bekerja lebih serius dan menuntaskan tugas-tugas kita secara gigih, sambil menguasai pengalaman dari hari-hari besar revolusi Rusia. Basis dari pekerjaan kita adalah pemahaman yang tepat atas kepentingan-kepentingan klas dan syarat-syarat perkembangan bangsa pada tahap sekarang ini. Kita sedang menggalang, dan akan terus menggalang sejumlah besar kaum proletariat, kaum tani dan serdadu dengan slogan penggulingan rejim Tsar, dan menyusun majelis rakyat oleh pemerintahan revolusioner. Jadi, dasar dan isi pokok pekerjaan kita adalah memperdalam dan memperluas pemahaman politik massa. Tetapi, jangan kita lupa, bahwa, sebagai tambahan atas tugas umum, yang terus-menerus dan mendasar, saat-saat sekarang di Rusia di samping tugas lain didesakkan, tugas-tugas yang khusus dan istimewa. Jangan sampai kita menjadi filistin dan pengkhianat, jangan kita lari dari tugas-tugas khusus saat ini, tugas khusus yang diberikan bentuk-bentuk perjuangan (garis miring dari pent), dengan kutipan-kutipan tak bermakna atas tugas-tugas tetap kita, yang tidak berubah, tanpa kenal waktu dan tempatnya.

Kita harus ingat bahwa perjuangan massa makin dekat. Pastilah ini akan berupa pemberontakan bersenjata. Ia harus sebisa mungkin berjalan seiring. Massa harus tahu bahwa mereka sedang memasuki perjuangan bersenjata, berdarah dan habis-habisan. Kesediaan untuk mati harus menjadi sikap di kalangan mereka dan inilah yang akan menjamin kemenangan. Serangan terhadap musuh harus dilakukan dengan kekuatan penuh; menyerang, bukan bertahan, harus menjadi slogan massa; pembasmian musuh-musuh rakyat menjadi tugas pokok mereka; serdadu pembelot akan didorong ke dalam partisipan aktif. Pada saat-saat yang penting ini partai kaum proletariat sedar ini harus menunaikan kewajibannya sepenuh-penuhnya.

* * *

Proletary, No.2, Agustus, 1906 Collected Works, Vol. 11, pp.171-178

Friday, March 30, 2007

Bernyanyi..Berjuang..

bernyanyi.. akhiri penindasan..



Kawan-kawan, di tengah situasi semakin massifnya perampasan hak-hak kesejahteraaan rakyat oleh imperialis lewat perusahaan-perusahaan multi nasionalnya; Exxon, Caltex, British Petroleum, Shell, Rio Tinto, Borken Hill Proprietary Company Ltd, Newmont Mining Corporation, Newcrest Mining Ltd, Inco Ltd, Freeport Mc Moran Copper & Gold Inc, maka, semakin akut/parahlah kondisi kesejahteraan rakyat indonesia. Betapa kini ratusan juta rakyat kita harus lahir-tumbuh-besar dalam kondisi miskin; tentu berdampak sekali terhadap kualitas hidup yang buruk; makanan minim gizi, minim vitamin, gampang sakit, bodoh, tak bisa sekolah tinggi, biaya berobat ke rumah sakit yang mahal; kalau jatuh sakit tak tersembuhkan, banyak rakyat mati di rumah kontrakannya (seperti pernah dipotret seorang penyair kerakyatan Widji Thukul dalam bait-bait puisinya), atau digeletakkan di bawah jembatan Fly Over seperti kejadian belum lama ini di Jakarta:



Di mana seorang anak kalut berat tak ada biaya, bingung harus membawa ke mana lagi bapaknya yang berhari-hari sakit keras. Sanak saudaranya menolak untuk menampung, karena juga (lagi-lagi) tak ada tempat - tak ada biaya untuk merawat dan mengurus. Akhirnya si anak menggeletakkan si bapak di bawah jembatan Fly Over; dibiarkannya terkena angin kencang, debu, polusi kendaraan bermotor, dan MATI!. Itu satu contoh kasus saja, aku yakin sekali ada banyak kasus serupa yang dialami oleh banyak rakyat Indonesia saat ini.


Keterbukaan politik seperti sekarang ini dari hasil penjatuhan rezim otoriter Soeharto telah melahirkan banyak gerakan rakyat. Organisasi-organisasi rakyat progressif lahir-tumbuh-jatuh bangun berjuang demi menuntaskan agenda-agenda reformasi yang tertunda-tunda. Buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota membangun wadah-wadah perjuangannya. Perjuangan sudah tidak bisa lagi dilakukan sendiri-sendiri lagi. Perjuangan sudah masuk dalam tahap untuk bersatu membangun kekuatan rakyat yang kuat antar sektor. Bahkan dalam waktu tidak lama lagi akan terwujud dalam satu front gerakan rakyat, nyata dan siap merespon situasi nasional apapun.


Di lapangan seni budaya, khususnya musik, serbuan grup-grup musik ataupun komunitas kesenian ayang progresif telah menghasilkan karya-karya yang turut mengiringi, menyemangati perjuangan rakyat lewat lagu-lagu perlawanan/pembebasan. Mereka datang menyeruak pekatnya belantara hegemonik grup-grup populer yang besar di bawah raksasa-raksasa industri musik: Musica, EMI, Sony BMG, Aquarius Music, sehingga lahirlah Sheila On 7, Radja, Peter Pan, Dewa 19, Samsons, Nidji, ADA Band yang (melulu) ngomong asmara sampe muntah muntah di sepanjang album mereka.


Grup-grup musik progresif, walau berada dalam kondisi serba terbatas; minim dalam hal ekonomi, latar belakang pendidikan musik, fasilitas berkesenian dan sebagainya, toh tak menyurutkan semangat untuk tetap berkarya - berjuang menyebar luaskan pikiran-pikiran maju. Lirik-lirik lagunya menggedor kesadaran minim rakyat tentang adanya penindasan. Tentang adanya penjajahan yang masih terus terjadi di bumi Indonesia. Tak luput juga ketidakadilan sosial yang dirasakan rakyat banyak menjadi tema sentral di lagu-lagu mereka. Bernyanyi menyuarakan perlawanan, menciptakan mars perjuangan, memberitahu bahaya militerisme, memperkenalkan musuh-musuh penindas rakyat, bahkan hingga cita-cita sosialisme dikabarkan dengan lagu sebagai jalan keluar menuju kesejahteraaan rakyat yang sejati.Berikutnya saya akan mencoba menjentrengkan grup-grup/komunitas seni/individu progressif berikut album karya mereka yang telah ada. Maaf bila kurang lengkap dan ada yang terlewat, sebab saya masih terus mengumpulkan data-data tentang mereka, agar bertambah kaya data nantinya. Tapi sebelum ke sana, kita perlu kilas balik ke masa perjuangan kemerdekaan- yang juga telah melahirkan para seniman musik bersama karya dan kisah revolusioner mereka. Tentu bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita, dan sedikit banyak jadi inspirasi para seniman musik progresif era sekarang. Kita mulai saja dari:


Ismail Marzuki (1914-1958). Di dalam lagu-lagu ciptaannya, agaknya Ismail Marzuki begitu jeli memilih kisah perjuangan dengan kisah kehidupan sehari-hari terutama percintaan, serta memadukan kisah-kisah percintaan di antara lagu-lagu perjuangan. Inilah yang terasa menjadi ciri khas pada lagu-lagu ciptaanya. Lagu itu sendiri menjadi lebih hidup serta terasa segar di sepanjang masa.


Dalam usia 30 tahun, ciptaan Ismail Marzuki mulai memperlihatkan bobot yang lebih berat dalam unsur melodi, syair dan intensitasnya serta kemahirannya dalam meleburkan perlambangan asmara dengan perjuangan untuk tanah air. Hal ini terlihat, pada tahun 1944, di lagu ciptaannya yang berjudul Rayuan Pulau Kelapa di mana melodi serta syairnya telah memiliki bobot yang matang. Dipandang dari nafas lagu-lagu dan syair ciptaannya, Ismail Marzuki merupakan seorang nasionalis yang setia pada cita-cita perjuangan kemerdekaan, pada kehidupan rakyat dan pada ibu pertiwi. Hal ini terlihat dari karya-karyanya, yang berjumlah lebih dari 200 buah, yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan. (Dari Katalog Ismail Marzuki; Komponis Pejuang 1985)


H.Mutahar. Pencipta lagu Syukur dan Hari Merdeka ini lahir di Semarang 5 Agustus 1916. Lagu Syukur merupakan lagu yang ia ciptakan jauh saat republik Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah. Lewat lagu itu, ia sebarkan impiannya tentang kemerdekaan Indonesia. H.Mutahar wafat 10 Juni 2004 di Jakarta.


Ibu Sud, atau yang bernama lengkap Saridjah Niung Bintang Soedibio ini adalah salah seorang pencipta lagu anak-anak. Karirnya sudah dimulai bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, ia sangat tergerak untuk mulai berkarya karena dulu anak-anak Indonesia kurang berbahagia. Alangkah indahnya kalau mereka dapat menyanyikan lagu berbahasa Indonesia. Ia sendiri kesal karena harus mengajarkan lagu berbahasa Belanda pada murid-murid Indonesia. Kemudian terlintaslah gagasan untuk membuat lagu-lagu untuk mereka. Tujuannya tidak lain ialah untuk memberikan kegembiraan kepada anak-anak, kemampuan berimajinasi, sehingga pada akhirnya dapat mencipta dan bekerja.


Lagu-lagu Ibu Sud, menurut Pak Kasur, mempunyai semangat patriotisme yang tinggi. Sebagai contoh, patriotisme tampak dalam lagunya yang berjudul Berkibarlah Benderaku. Lagu itu diciptakan beliau ketika melihat kegigihan Yusuf Ronodipuro, seorang pimpinan RRI pada tahun-tahun pertama Indonesia. Yusuf menolak menurunkan Sang Saka Merah Putih yang sedang berkibar di kantornya, walaupun dalam ancaman senjata api. Beberapa lagu lainnya antara lain: "Hai Becak", "Burung Ketilang, dan Kupu-Kupu. Ketika genting rumah sewaannya dulu, di Jalan Kramat Jakarta bocor, ia membuat lagu Tik Tik Bunyi Hujan....


Kebisaannya di bidang musik sebagian didapatnya dari ayah angkatnya, Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, seorang pensiunan Wakil Ketua Ketua Hooge Rechtshof (Kejaksaan Tinggi) di Jakarta, yang selanjutnya menetap di Sukabumi (seorang indo-Belanda -- beribukan keturunan Jawa ningrat -- Ibu Sud dibiasakan mencintai bangsanya). Ibu Sud turut mengiringi Indonesia Raya melalui biola saat lagu itu pertama kali dikumandangkan di Gedung Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Waktu itu ia sudah menjadi Nyonya Bintang Soedibio (almarhum, meninggal 1954).

Di tahun-tahun perjuangan, Ibu Soed juga bersahabat dengan Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Kusbini, dan tokoh nasionalis lain. Ayahnya yang sebenarnya Mohamad Niung, pelaut asal Bugis yang kemudian menjadi pengawal Mr. Kramer. Saridjah lahir sebagai anak bungsu dari 13 bersaudara -- 11 di antaranya sudah meninggal. Ibu Sud sekarang telah mencapai usia tuanya, hidup ditemani cucu dan buyut. Ia bertekad untuk tetap mencipta lagu dan membatik. Meskipun bukan pengusaha batik, tetapi ia ingin menghargai nilai seni di baliknya.


(Dari hal web:http://id.wikipedia.org/wiki/Ibu Sud)


Cornell Simanjuntak kita kenal sebagai komponis yang menciptakan Indonesia Tetap Merdeka dan Pada Pahlawan. Di masa mudanya aktif berjuang dan bergabung dengan tentara pelajar, pernah tertembak dalam sebuah pertempuran sengit melawan militer belanda. Belanda terus memburu dan menyisir basis/markas gerakan pejuang-pejuang kita waktu itu hingga seorang Cornell Simanjuntak yang menderita luka harus menjalani pengobatan dengan berpindah-pindah tempat.


Dalam masa penyembuhan, dan bayang ancaman tentara Belanda yang sewaktu-waktu datang menyerang, seorang Cornell Simanjuntak terus saja menunjukkan semangatnya yang luar biasa dan tak surut. Kondisi luka yang harusnya ia gunakan buat istirahat agar cepat sehat dan pulih, malah ia habiskan waktunya dengan mengutak-atik penggalan karya-karya yang belum selesai- hingga terciptalah sebuah mars yang begitu menggelora dan kerap masih kita lagukan hingga saat ini: Maju Tak Gentar.


Itulah kisah para komponis pejuang kita dahulu. Memang masih kurang lengkap karena ada periode yang terputus, yaitu kurun waktu paska kemerdekaan- kala pimpinan politik masih berada dalam genggaman Soekarno. Kurun waktu itu juga melahirkan para pemusik/musisi dengan corak karyanya yang anti imperialis, anti terhadap penjajahan asing, karena setelah lepas dari belanda, Republik kembali siap ‘disantap’ oleh Amerika dan sekutu-sekutunya. Soekarno yang pro rakyat tak bosan-bosan berteriak bahwa revolusi belum selesai. Seluruh sektor massa rakyat harus menghalau setiap ancaman yang datang, yang akan masuk lewat modal, lewat kebudayaan dan sebagainya. Bahwa republik harus mandiri dalam 3 hal, yakni mandiri dalam hal politik, mandiri dalam hal ekonomi serta mandiri dalam hal kebudayaan.


Itulah yang selalu ditekankan seorang Soekarno kala itu. Kurun waktu itu tercipta karya-karya seperti; Awas Inggris Amerika, RESOPIM (Revolusi Sosialis Pimpinan), Nasakom Bersatu dan lain-lain. Sayang, aku baru mengenal satu nama saja untuk salah satu karyanya di atas, yakni Soebronto K Admodjo dengan RESOPIM-nya. Kembali aku harus mencari lagi data (pencipta dan berikut karyanya) di kurun waktu tersebut.


Baik, sambil terus mencari data guna kelengkapan tulisan ini berikutnya, maka marilah kita maju terus ke periode kala Orde Baru- yang lahir dari rahim orde lama. Suatu peristiwa sejarah peralihan kekuasaaan politik yang amat berdarah-darah karena harus mengorbankan sekian juta nyawa manusia.


Iwan Fals. Sosok ini banyak melahirkan karya sarat dengan tema-tema sosial. Mulai dari Oemar Bakri, Sore Tugu Pancoran, Kontrasmu Bisu, Sugali, Terminal, Wakil Rakyat, Ethiopia, 1910, Sarjana Muda dan banyak lagi. Masa tahun 80an – 90an hingga sekarang tak ada yang tak kenal Iwan Fals. Lagunya jadi lagu wajib bagi pengamen dan anak muda yang pada nongkrong di ujung gang. Sekitar 23 album telah dihasilkan, baik saat solo maupun bergabung dalam grup Swami, Dalbo & Kantata Takwa.


Kelompok (Bram) Kampungan. Grup musik yang pernah menjadi semacam simpul sikap perlawanan di kalangan anak-anak muda dan mahasiswa pada tahun 1970-an. PADA zamannya, Bram Makahekum dan teman-temannya dalam Kelompok Kampungan diam- diam menjadi "pahlawan" beberapa anak muda dan mahasiswa. Kelompok Kampungan, yang dibentuk oleh Bram dan teman-temannya yang sebagian besar adalah awak Bengkel Teater Rendra pada tahun 1975, di tengah kesumpekan suasana pada masa itu, dengan lantang menyerukan gugatannya. Lihatlah lirik lagunya, misalnya dalam lagu Berkata Indonesia dari Yogyakarta:

"Dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda/Anak muda Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya memasuki kota Yogyakarta..."


Pada bait yang lain,

"Kini bukan lagi gengsi suku yang mereka bicarakan/Tetapi gengsi generasi muda Indonesia/Sebagai penerus perjalanan bangsa/Mereka memasuki bangku sekolah dari universitas/Serta menempa kepribadian di berbagai aktivitas kesenian".


Mereka berkeliling dari kampus ke kampus, berpentas di panggung yang selalu mengandung kemungkinan untuk "diberhentikan" oleh tentara dari rezim militer Orba kala itu. Sebaliknya, ihwal seperti itu justru menjadikan Kelompok Kampungan semakin populer. Seperti ditulis di buku pengantar pertunjukan Kelompok Bram Kampungan di TIM belum lama ini, eksistensi Kelompok Kampungan dan musiknya sering menjadi bahan diskusi di kampus-kampus. Hal demikian terus berlanjut sampai akhirnya perusahaan rekaman Akurama Record tertarik merekam lagu-lagu mereka. Maka lahirlah album (satu-satunya) Kelompok Kampungan berjudul Mereka Mencari Tuhan. Hanya dengan satu album yang terdiri dari lagu-lagu seperti Bung Karno, Mereka Mencari Tuhan, Ratna, Berkata Indonesia dari Yogyakarta, Drama, Kalau, dan Wanita (sebagian besar ditulis Bram Makahekum, sebagian lagi ada kesertaan Rendra, Sawung Jabo, Eddy Haryono, dan Joko).

Kelompok Kampungan menjadi kelompok yang terus dikenang. Kenangan atas Kelompok Kampungan identik dengan kenangan atas masa tahun 1970-an, termasuk "romantisme" kehidupan anak-anak muda di Yogyakarta kala itu-sebuah kota yang menyimpan elan vital perjuangan. Rendra menggambarkan ulah Bram dan kawan-kawannya sebagai ulah "daya hidup dari manusia yang menolak ditundukkan".

KINI musim memang telah berganti. Bagi yang menjalani kehidupan di Yogyakarta pada masa itu, Yogya masa kini tentulah sudah lain situasinya. Yogya masa kini adalah kota yang cenderung menjadi mahal, sejumlah orang kota membangun rumah mewah di situ, mahasiswa-mahasiswa bersantai di mal dan kafe, pakaiannya dicucikan di laundry, dan seterusnya. Daya hidup telah ditundukkan konsumtivisme.


Hanya saja, ada juga yang tampaknya tak terlalu berubah, di antaranya Kelompok Kampungan. Pada mereka pula, sejumlah "veteran Yogya" yang kini tinggal di Jakarta, ingin menikmati cita rasa "daya hidup" itu. Makanya, dalam dua hari pertunjukan Kelompok Kampungan di TIM itu, dengan mudah penonton menemukan orang-orang yang dikenalnya, pernah dikenalnya, semasa di Yogya dulu. Selain Bram, hanya beberapa saja dari belasan anggota Kelompok Kampungan yang merupakan muka lama. Mereka adalah Bujel Dipuro, Innisisri, dan Agus Salim. Selebihnya adalah muka-muka baru, yakni Herwin Wijanarko Setiawan, Agung Prasetyo, Doyok Wardoyo, Jayus Stugor, Imoeng Moelyadi, Ari Sumarsono, Agam Hamzah, dan Guntur Nur Puspito. Mereka semua seperti trademark mereka sejak dulu-bersarung. Sebagian instrumen musik mereka adalah instrumen musik tradisional Jawa berupa kendang, gong, suling bambu, dan lain-lain.


Dalam hal ini, meski mereka memakai gamelan Jawa dipadukan instrumen Barat seperti gitar listrik, konsep musik mereka sebenarnya tidaklah "kampungan"- bahkan terkesan modern. Apalagi, kalau dibandingkan dengan konsep di balik musik yang digemari di Jawa Tengah kini, yakni "campur sari". Organisasi bunyi pada musik Kelompok Kampungan adalah organisasi bunyi modern dengan struktur yang bisa ditemui pada musik-musik Barat. Melodi lagu-lagu mereka rata-rata bagus, dengan lirik yang puitis dan gagah ("Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan tetap terjaga"-bait lagu Aku Mendengar Suara). (Sumber: BRE)John Tobing. Menciptakan lagu Darah Juang sebagai lagu perjuangan mahasiswa Indonesia yang lahir sebelum Soeharto jatuh dan semakin popular di era reformasi dan kini. John Sonny Tobing lengkapnya; Ketua KM UGM pertama, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta sekitar tahun 1990. Lirik lagu ini dikerjakan bersama Andi Munajat (Fakultas Filsafat UGM). Lagu ini kemudian kerap dinyanyikan, dan dianggap sebagai lagu wajib dalam setiap demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia.


Hymne Darah Juang juga diyakini mampu menguatkan iman perjuangan dan selalu dinyanyikan dengan mengepalkan tangan kiri ke angkasa- bahkan pernah dinyanyikan dengan penuh hikmat sebelum barisan massa melakukan pertempuran jalanan melawan alat-alat represif negara. Karya ciptanya yang lain; Untuk Indonesia, Lawan!, dan Doa.


Syafei Kemamang. Tak banyak yang tahu kalau pria asal Lamongan, Jawa Timur inilah yang menciptakan Mars Revolusi dan Mars Buruh Tani, dua lagu wajib bagi semua aksi massa turun ke jalan. Hingga saking populernya, dua lagu tersebut banyak dibawakan band-band punk dalam aransement musik bertempo cepat dan juga pernah digubah syairnya menjadi lagu penyemangat suporter klub sepakbola.


Widji Thukul. Kita lebih mengenalnya sebagai seorang penyair revolusioner. Puisi-puisinya begitu mengerikan bagi rezim orde baru kala itu. Saat semua mulut bisu dibungkam ketakutan, Widji lantang berteriak; LAWAN! lewat puisinya. Saat semua orang berbondong-bondong ke kotak suara untuk coblosan pemilu, Widji malah masuk kamar mandi dan membacakan puisinya keras-keras;

“pemilu ohh..pilu!..pilu!../pada saat coblosan nanti/aku tidak akan kemana-mana..

aku akan di rumah saja/menanak nasi/nyambel bawang – ikan asin/aku akan bersiul-siul/


lalu berteriak: pemilu ohh..pilu!..pilu!..”


Tak hanya berpuisi, Widji Thukul yang juga salah seorang pendiri Jaker dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga menciptakan lagu-lagu satir khas karyanya: Apa Guna, Sungguh Enak Hidup Di Televisi yang biasa ia bawakan sebelum membacakan puisi.


LONTAR Band. Akhir 1994 adalah tiga orang yang membentuk kelompok musik kecil, yakni BimPet (nama panggilan Bimo Petrus) dan Babe (nama panggilan David Kris) memainkan gitar, lalu Jaka Sadewa sebagai penyanyinya. Kelompok musik tanpa nama ini lambat laun mulai membuat lagu, di antaranya; Anak Bangsa, Pasti Menang, Simarsi (nah..), Karna aku Cinta, Indonesia (C) Emas dan Mana Buku dan Guruku. Februari 1995, melalui saran Heru Krisdianto, koordinator Komite Solidaritas Mahasiswa Universitas Airlangga (sebuah organisasi gerakan mahasiswa di era tahun 1990-an), maka bergabunglah Chris (nama panggilan Christanto) sebagai drummer dan Inuk (nama panggilan Wisnu Wardhana) sebagai gitaris. Adapun mereka berdua adalah personil di Sianida band. Maka lengkaplah formasi kelompok musik ini, untuk semakin menegaskan visi dan misinya. Maret 1995, pemberian nama pun diilhami dari nama sebuah bulletin KSM UNAIR yakni LONTAR. Nama LONTAR tak hanya bermakna pelontaran gagasan atau ide semata, namun dipahami sebagai daun siwalan yang konon berfungsi menjadi kertas tulis untuk menuangkan berbagai filosofi kehidupan manusia di masa lalu. Dengan demikian LONTAR pun akan dipahami sebagai: (1) media belajar bersama (melalui musik) agar mempersatukan pemikiran kritis, kesadaran baru, tindakan dan semangat melakukan perubahan mencapai cita-cita membangun kehidupan bersama yang lebih manusiawi. Karena itulah teks-teks LONTAR sarat akan tema kritis tentang hak asasi manusia, anti kekerasan/ diskriminasi/ rasisme, ajakan untuk perubahan menuju kehidupan bersama yang lebih baik.


LONTAR merupakan contoh konkrit grup musik yang sangat peduli terhadap masalah-masalah tersebut.1 Motivasi dan idealisme melalui kebebasan berekspresi dalam bermusik inilah yang merupakan pula bentuk kontra kultura, yang dimunculkan LONTAR di masyarakat, sarat dengan lirik kritis.2 Seiring dengan perkembangan sosial politik masyarakat kala itu. April 1995 15 April 1995, pementasan LONTAR yang pertama kali pada panggung Malam Chairil Anwar yang digelar oleh Program Studi Sastra Indonesia FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Akhirnya disepakati bersama bahwa tanggal tersebut adalah hari kelahiran LONTAR. LONTAR Band; telah 10 kali berganti formasi, menghasilkan 3 album (Marah, Setengah Tiang untuk Demokrasi, Indonesia, Siapa Yang Punya..?), malang melintang dan dikenal luas oleh khalayak musik (rock) Surabaya hingga kini masih tetap eksis bermusik di bawah Rights Management. (Sumber dari Larik_Balik_LONTAR).


Sanggar Satu Bumi. Didirikan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 2003 oleh beberapa seniman yang berminat pada seni musik dan puisi; Andrian Romico, AJ Susmana, Winarso, Dompak, Kuncoro Adi Broto & Tejo. Telah mendokumentasi dua album lagu perjuangan demokratik; Tidur.. Jangan! & Nyanyian Akar Rumput.


MARJINAL. Sebuah grup musik beraliran punk-rock yang cukup terkenal dan berasal dari Jakarta. Kelompok musik ini sebelumnya bernama Anti Military. Melalui lirik-lirik lagunya, Marjinal dapat dikategorikan sebagai kelompok musik berhaluan anarko-punk, karena liriknya banyak memuat tema-tema politik, dan semangat perubahan sosial. Beberapa lagu yang diciptakan oleh mereka banyak dinyanyikan oleh para aktivis yang sedang berdemonstrasi. Sejak berdirinya, kelompok ini telah menghasilkan beberapa album, di antaranya adalah: Anti Military, Termarjinalkan & Predator. Band yang bermarkas di Depok ini eksis membangun komunitas musiknya. Penggemar fanatik Marjinal kerap melakukan koor sembari moshing saat lagu Hukum & Marsinah digeber di atas panggung.


Kepal-SPI. Berawal dari organisasi pengamen progresif yang berkarya dengan tema-tema sosial politik, lalu ada niatan untuk membakukan karya-karya mereka ke dalam bentuk kaset/CD, agar nilai-nilai baik di lagu-lagu mereka tersebar luas dan bisa didengar banyak orang. Maka, di awal tahun 2006, keluarlah album pertama; Turun Ke Jalan. Anak-anak Kepal-SPI memang senang guyon, nyeleneh plus tingkah polah lain yang kerap mengundang tawa, tapi saat bermusik mereka cukup serius. Dari beberapa kali pengamatanku melihat aksi panggung mereka, I Bob si vokalis sangat komunikatif dengan penonton. Tidak hanya (melulu) agitatif seperti banyak dilakukan band-band progresif lain, tapi juga mampu menghilangkan jarak dengan penonton; mengajak bernyanyi bareng, memberi tebakan berhadiah pin/sticker, memperkenalkan album mereka, hingga penonton betah menyaksikan dan bertahan hingga bubar.


Red Flag. Band Reggae dari Lampung ini seperti hendak mengembalikan semangat/roh musik reggae yang anti penindasan itu. Begitu banyak komunitas musik reggae yang ada tapi hanya sedikit sekali yang menjadikannya sebagai alat pembebasan kaum buruh yang diperlakukan tak adil oleh elit-elit kekuasaan; seperti lagu-lagu milik ikon reggae dunia; Bob Marley. Red Flag, satu dari sekian banyak grup reggae itu coba mengembalikan semangat pembebasan reggae ke rel yang sejatinya. Maka tanpa ragu mereka melantunkan Buruh Tani, Fighf For Socialism, G/28/S/TNI dsb pada album ‘One Song One Struggle’.


Red Flag sepertinya ingin bilang bahwa reggae tak hanya gaya rambut dreadlock atau biasa disebut gimbal, tak sekedar atribut merah-kuning-hijau, tapi reggae adalah pesan-pesan untuk membangkitkan semangat pembebasan. Seperti semangat pada lirik lagu Bob Marley "emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds" dari lagu Redemption Song yang merupakan ajakan untuk meninggalkan mental budak dari diri manusia.


Tari Adinda. Perawakannya kecil saja, tapi siapa sangka kalau gadis itu punya kemampuan besar karena telah menciptakan puluhan lagu. Keterlibatannya dalam organisasi buruh (FNPBI) sedikit banyak telah merubah pemahamannya tentang banyak hal; sosial, politik maupun tentang pentingnya membangun organisasi. Seringnya berinteraksi dalam kerja-kerja revolusioner; berdiskusi, ikut pendidikan, aksi massa juga telah mengubah kandungan bagi lirik-lirik lagu yang diciptakannya. Kalau dulu liriknya hanya berkutat pada masalah/tema-tema asmara antara pria dan wanita, maka sekarang mulai merambah pada tema kehidupan buruh; soal gajian, soal makanan yang dikonsumsi di pabrik, soal sistem kontrak, dan memang lagu-lagu Tari (yang balada & mengingatkan kita pada Iwan Fals) begitu mudah dihafal dan cepat akrab ditelinga.


Bila ingin menyimak lagu-lagunya, silahkan putar CD album pertama Tari Adinda; Buruh Kontrak yang awal Juni lalu diproduksi oleh Sanggar KAPUAS Cakung.


Demikian rentetannya, sebenarnya masih ada banyak yang terlewat, karena kembali aku masih minim sekali data. Tapi bolehlah aku menyertakan/menyebut nama mereka di akhir tulisanku ini, karena mereka juga punya semangat dan cita-cita yang sama dengan grup-grup yang telah aku tulis diatas. Di lain waktu tentu kita akan kupas habis tentang mereka; baik karya maupun profile dari TehnoShit, Segorames, JERUJI, Mukti Mukti, COMERADE, Gestapu, GERIGI, dan lainnya. Maka sambutlah serbuan musik perlawanan – musik pembebasan dari grup-grup yang bemusik..bernyanyi dan berjuang untuk mengakhiri penindasan.

Monday, March 26, 2007

Jalan Menuju Revolusi

Ketika pemerintahan Amerika Serikat dipimpin oleh Eisenhower tahun 1960, Fidel Castro telah menjaga jarak dari negeri yang menyebut diri “Polisi Dunia” itu. Sekarang, 47 tahun kemudian, ketika Goege W. Bush menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat Fidel tetap menjaga jarak dari Amerika Serikat dan tetap lantang bicara, “Imperalisme harus dilawan!”


Central Intelligent Agency (CIA)berulang kali memelopori upaya pelenyapan Fidel. Segala macam cara ditempuh : memberi racun pada cerutu yang biasa ia hisap, memberi dosis kematian LSD, memasukkan Sianida pada susu coklatnya, memberi infeksi Tuberkulosis di pakaiannya, sampai memberi obat perontok rambut dan jengggot agar wibawa dan kharismanya luntur.


Fidel Castro tetap berdiri, dan seraya tersenyum masih sempat mengatakan, “Jangan salahkan aku jika aku belum mati sekarang…”


El Commandante


Berseragam militer, topi hijau, brewok tebal, cerutu ditangan. Seperti itu Fidel Castro direkam banyak orang. Agak janggal rasanya ketika melihat Pressiden kuba itu memakai setelan jas resmi (meski terkadanh ia pun suka memakainya)


Ada sebuah lelucon tentang ketenaran The Beatles, band besar asal Inggris. Jika ada orang yang tak pernah mendengar nama The Beatles, maka kemungkinannya ada dua : orang tersebut telah meninggal dunia sebelum The Beatles lahir, atau orang tersebut baru saja datang dari Planet Mars. Barangkali seperti itu juga halnya dengan Fidel Castro. Sejak banyak orang di Bumi ini belum lahir, ia sudah menjadi pemimpin Kuba. Dan hingga kini, ia adalah pemimpin negara paling lama di Bumi!


Umurnya tahun ini (2007) adalah 82 tahun. Tawanya masih renyah,gayanya masih flamboyan. Dan yang tak terlupakan, semangatnya masih tetap menyala benderang. Ia masih melemparkan kata-kata yang mengobarkan semangat hidup bagi rakyatnya, bahkan ketika ia sedang terkapar diranjang, “Aku meminta pada kalian agar tetap optimis, sekaligus siap untuk menghadapi berita apapun. Untuk semua yang peduli pada kesehatanku, aku berjanji akan memperjuangkan kesehatanku!”


Ditengah hujatan Amerika yang mengklaim dirinya sebagai suatu kesalahan dan oleh karenanya harus disingkirkan. Bahkan Amerika melegalkan setiap usaha pembunuhan atas dirinya, merestui bahkan membiayai orang-orang untuk menyerang negaranya. Tapi Fidel tetap lantang bicara “Imperialisme harus dilawan! Dan Kapitalisme adalah Negara serigala!”. Seperti itulah Fidel Castro. Seperti monumen yang enggan runtuh ketika yang lainnya satu-persatu berjatuhan : Deng Xiaoping, Peron, Khurshchev, franco, Tito, Soekarno. Ia terus berdiri dengan tetap memegang semangat nilai yang ia percayai sejak pertama kali menyerang barak militer milik pemerintahan saat ia masih usia kepala dua.


Meski banyak orang yang gigih menamparkan sangkaan-sangkaan bahwa dirinya adalah seorang diktator, seorang yang memeras rakyatnya demi keuntungan pribadinya. Ia dengan lantang berkata, “Jika mereka mampu membuktikan aku memiliki rekening di luar negeri…bahkan jika itu berisi satu dolar, aku akan mengundurkan diri dari kedudukkanku”


Di depan anak-anak muda di negaranya, ia begitu meyakinkan berkata, “Tak ada anak muda lain di dunia ini yang terdidik sebagaimana kalian terdidik… tidak ada anak muda lain di dunia ini yang memiliki banyak ilmuwan, spesialis, insinyur, professor, guru, dokter. Kita adalah Negara, di Dunia Ketiga dan seluruh dunia, dengan jumlah guru terbanyak per kapita. Termasuk dosen dan profesor.Apakah kita akan menyerah?! Kita adalah sebuah Negara yang memilki jumlah dokter yang paling tinggi per kapita, dan distribusi dokter-dokter kita tertinggi per kapita. Apakah kita akan menyerah?! Tak ada anak muda didunia ini yang memiliki begitu banyak sumber daya!”


Seperti itulah Fidel Castro, “Orang idealis paling besar zaman ini”, kata Gabriel Garcia Marques, peraih Nobel Sastra tahun 1982.


“Kau bisa mengatakan bahwa sejak

aku berumur 19 tahu, aku sudah terlibat

dalam perjuangan yang hebat… dan dalam semangat yang kau rasakan

seperti ketika aku memulainya. Beberapa orang mengatakan

aku keras kepala, tapi kenyataannya aku kuat bertahan, dan keras hati.

Aku berpikir jika aku bisa hidup kembali nanti,

aku akan melakukan hal yang sama”, Fidel



Revolution is never endless, freak_kOy




Saturday, March 24, 2007

hancurkan dan bebaskan!!

Venezuela || Hugo Chaves


Sebelum Chavez naik menjadi penguasa, negeri ini lebih banyak dikenal hanya sebagai penghasil minyak terbesar di Amerika Latin. Atau karena keayuan perempuan-perempuannya, sehingga bolak-balik memenangkan kontes Miss Universe atau Miss World, tentu tanpa dibombardir kontroversi seperti Artika Sari Devi. Selebihnya, Venezuela yang berpenduduk hanya 23 juta, tidak lebih istimewa dibanding Kolumbia, negeri dimana bisnis narkobanya melebihi aktivitas ekonomi tradisional rakyatnya. Atau Brazil yang kerap menjadi tuan rumah Forum Sosial Dunia (WSF) setiap tahun sejak 2001. Atau tentu saja, dibanding musuh laten Amerika Serikat (AS), Fidel Castro, politisi gaek yang sejak tahun 70-an kerap menggampar mikrofonnya setiap kali mengucapkan kata “United States!”

Chavez adalah the rising star, seorang pemimpin muda (usianya 43) yang begitu dicintai oleh orang-orang miskin, sehingga mampu lolos dengan gemilang dari dua kali kudeta yang didukung klik militer sayap kanan, para pengusaha, pemilik media dan sejumlah pimpinan serikat buruh konservatif, gereja Katolik dan tentu saja Pemerintahan AS.. Setelah kudeta militernya sendiri gagal di tahun 1992, nama Kolonel Chavez justru melambung di hati rakyat miskin Venezuela, yang sudah muak dengan korupsi dan kebejatan para elite sipil dan militer waktu itu.

Chavez dan Venezuela juga menarik untuk dipelajari karena, saat di Indonesia militer dipandang sebagai problem besar demokrasi, kerja sama militer-sipil justru menjadi tulang punggung kesuksesan program-program populis Chavez. Semangat membangun kemandirian ekonomi dalam negeri menjadi proyek nasional bersama dari angkatan bersenjata dan kelompok sipil pendukung Chavez. Uniknya, demokrasi politik di Venezuela tidak terkorupsi dengan keterlibatan tentara yang besar dalam lapangan sosial-ekonomi dan birokrasi. Metode ini, meski menabrak pakem-pakem konvensional dalam demokrasi, yang menegaskan pentingnya supremasi sipil dalam setiap aspek kehidupan, justru perlahan-lahan menunjukkan keberhasilannya dalam membangun Venezuela.

Dan terakhir, karena Chavez memberikan harapan kepada kita. Perlawanan terhadap kemapanan globalisasi dan neoliberalisme telah bangkit di seluruh dunia, meski tanpa konsep alternatif yang dapat menjadi konsensus bersama. Naiknya Chavez adalah jawaban bagi kelemahan penting gerakan anti globalisasi: bahwa program-program alternatif hanya dapat diwujudkan saat kekuasaan politik ada dalam genggaman. Di saat mayoritas pemimpin Amerika Latin menerima dengan diam superioritas ekonomi AS dan sekutunya, Chavez tampil. Bukan hanya memberikan kritik dan menolak model ekonomi yang eksploitatif dan dominan, namun juga mengambil alih kekuasaan dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat.

Lalu, apa yang membuat sebuah biografi politik menjadi menarik, dan perlu? Apa yang membuatnya seakan-akan tampil sebagai satu kalender perjalanan, bukan saja dari seorang tokoh, tapi juga sebuah bangsa?

Hugo Chavez adalah bintang baru di benua Amerika Latin, kontinen yang kaya akan tradisi pemberontakan militer, gerakan kiri dan tentu saja kemiskinan. Setelah Juan Peron, Velasco Alvarado, Salvador Allende dan Fidel Castro, tradisi gerakan nasionalisme kiri Amerika Latin tampaknya akan terus berjalan dengan terpilihnya Chavez sebagai presiden di tahun 1998, terlepas dari kegusaran Washington terhadapnya.

Sebagai jurnalis, koresponden dan editor surat kabar The Guardian, Richard Gott menulis dan melaporkan Venezuela dari beragam sudut, seakan akan dalam satu saat dia hadir di beberapa tempat sekaligus. Studinya yang mendalam tentang gerakan revolusioner di Amerika Latin sejak 1960-an, menghadiahi kita sebuah bonus dalam membaca biografi Chavez: pengertian yang utuh dan lengkap tentang Venezuela dan Amerika Latin. Sejarah gerakan kemerdekaan Amerika Latin, kemiskinan dan krisisnya adalah pisau yang memahat jalan bagi sejumlah tentara populis untuk mengambil alih kekuasaan. Kolonel Chavez, adalah produk langsung dari sejarah kontinennya, buah dari tradisi patriotik kemiliteran yang diwarisi dari pahlawan-pahlawan kemerdekaan mereka sendiri. Karenanya Chavez, dalam hal ini bukanlah sang pemula. Ia hanya seorang pemimpin yang berani mengambil tradisi terbaik dari perjalanan bangsanya, dan mengasahnya sebagai pedang melawan dominasi ekonomi negara-negara maju abad ini.

Havana-Caracas-Havana

Buku ini dibuka dengan kunjungan Chavez ke Havana dan ditutup juga dengan lawatan ke Havana. Mungkin Gott ingin menunjukkan bahwa Fidel Castro kini tidak sendirian lagi dalam merongrong AS dari Amerika Latin. Ada Chavez yang juga gigih menyerukan pentingnya menolak pasar bebas AS dan kedaulatan ekonomi negeri Amerika Latin. Gott menggambarkan cukup detail persahabatan antara senior-junior ini. Mereka sama-sama menjadi popular berkat kudeta yang gagal di tahun 1953 dan 1992, dan juga sama-sama dipenjara beberapa tahun sebelum akhirnya berhasil berkuasa. Keduanya sama-sama hobi baseball, gemar cerutu dan senang mengutip slogan-slogan revolusioner.

Meski demikian, proyek Revolusi Venezuela terbukti berbeda dari yang dilakukan Kuba. Venezuela, menurut Gott, memiliki tradisi demokrasi yang jauh lebih mendalam daripada Kuba. Dan tradisi itu tidak pupus dengan naiknya seorang kolonel sebagai orang nomor satu. Dalam satu setengah tahun pertama kekuasaannya, pemerintah Chavez telah melaksanakan dua referendum dan dua pemilihan umum, dimana pendukungnya memenangkan kursi mayoritas di Majelis Nasional.

Chavez juga berbeda dari Castro, atau Allende di Chili atau gerakan Sandinista di Nikaragua dan Zapatista di Mexico, yang semuanya menganggap penting keberadaan partai politik atau serikat buruh/tani. Kemenangan Chavez, baik dalam pemilu, kudeta tahun 2002 maupun referendum, bukanlah bersandar pada struktur politik yang mapan dan terorganisasi. Meskipun Chavez membentuk The Fifth Republic Movement dan Bolivarian Revolutionary Movement untuk menyokong kampanye politiknya, namun kelompok ini sesungguhnya merupakan wadah politik grass root yang longgar. Kemenangan Chavez sesungguhnya ditopang oleh barisan kaum miskin perkotaan yang tak terorganisasi, para pekerja sector informal dan tentu saja, tentara. Menurut Gott, mobilisasi para pendukungnya selama ini lebih mengutamakan komite-komite ad hoc dan semi militer, ketimbang kemapanan struktur dan kepatuhan ideologis.

Ini sangat menarik. Meskipun Chavez memiliki program-program yang berkarakter kiri, namun tindakannya sepenuhnya terlepas dari struktur politik apapun. Menurut Gott, ini disebabkan oleh kejengkelan Chavez pada partai politik tradisional, akibat korupsi ataupun ketidakefektifan mereka dalam membangun dukungan dari grass root. Saat naik panggung, ia terobsesi menciptakan a clean break from the past, dimana partai-partai itu dlihatnya sebagai unsur yang mewakili sistem politik masa lalu. Apalagi serikat buruh terbesar dan tertua di sana, CTV, mayoritas beranggotakan buruh kerah putih dan pekerja minyak, yang merasa lebih dekat kepada pihak pengusaha ketimbang pada sesama buruh.

Seberapa mampukah sebuah kekuasaan dapat bertahan tanpa ditopang oleh sebuah struktur politik yang terorganisasi baik? Seberapa efektifkah ia dapat menjelaskan program-programnya kepada rakyat? Mobilisasi setengah spontan dan mengandalkan momentum politik memang dapat tampil sangat heroik dan militan. Namun kudeta terhadap Chavez oleh kaum oposisi militer dan sipil di tahun 2002, yang berujung pada referendum di bawah pengawasan Carter Center, menunjukkan bahwa spontanitas dan grass root yang longgar tidak cukup untuk mengendalikan kekuasaan dalam jangka panjang.

Program-program ekonomi Chavez sangat menakutkan para konglomerat dan kalangan pro-pasar Venezuela, sementara AS mustahil akan tinggal diam melihat hegemoninya diinjak-injak oleh Chavez. Dengan semakin intensifnya program-program populis Chavez, konflik antar kelompok kaya dan miskin akan kian tajam, yang berpotensi besar memberi jalan bagi upaya penggulingan atau sabotase ekonomi berikutnya. Langkah antisipasi bagi Chavez bukan hanya dengan mempercepat realisasi program-program kesejahteraannya kepada rakyat, namun juga mengorganisasikan mereka ke dalam sebuah wadah yang lebih solid dan permanen.

***
Buku karya Gott ini tidak sekedar menceritakan perjalanan hidup Chavez semata, melainkan tentang sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya; yang lahir dari situsi-situasi sosial serta sejarah tanah airnya. Dari buku ini terjelaskan pula bahwa dinamika perjuangan rakyat dengan tantangan di setiap zaman lah yang melahirkan para pemimpin progresif. Di antaranya tergambar proses nasionalisasi ekonomi Venezuela yang telah dimulai sejak dekade 70-an di bawah Presiden Carlos Andrez Perez. Di saat-saat sentimen anti kolonialisme dunia ketiga mulai memudar, Andrez Perez justru melakukan serangkaian tindakan berani. Beberapa perusahaan minyak termasuk Shell dan Exxon dinasionalisasi, dan uangnya dipakai untuk membangun industri dalam negeri berteknologi tinggi, seperti penambangan besi dan aluminium, bendungan hidro-elektrik, kompleks-kompleks industri, dsb. Di tengah serbuan imperialisme yang menghantam Indonesia, buku ini patut menjadi tambahan referensi perjuangan; bukan hanya karena Richard Gott menulisnya dengan memukau, tapi juga kemampuannya dalam memberi inspirasi baru tentang proses menuju dan bagaimana seharusnya kekuasaan rakyat diterapkan.

* Dominggus Oktavianus. Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI)