Friday, March 30, 2007

Bernyanyi..Berjuang..

bernyanyi.. akhiri penindasan..



Kawan-kawan, di tengah situasi semakin massifnya perampasan hak-hak kesejahteraaan rakyat oleh imperialis lewat perusahaan-perusahaan multi nasionalnya; Exxon, Caltex, British Petroleum, Shell, Rio Tinto, Borken Hill Proprietary Company Ltd, Newmont Mining Corporation, Newcrest Mining Ltd, Inco Ltd, Freeport Mc Moran Copper & Gold Inc, maka, semakin akut/parahlah kondisi kesejahteraan rakyat indonesia. Betapa kini ratusan juta rakyat kita harus lahir-tumbuh-besar dalam kondisi miskin; tentu berdampak sekali terhadap kualitas hidup yang buruk; makanan minim gizi, minim vitamin, gampang sakit, bodoh, tak bisa sekolah tinggi, biaya berobat ke rumah sakit yang mahal; kalau jatuh sakit tak tersembuhkan, banyak rakyat mati di rumah kontrakannya (seperti pernah dipotret seorang penyair kerakyatan Widji Thukul dalam bait-bait puisinya), atau digeletakkan di bawah jembatan Fly Over seperti kejadian belum lama ini di Jakarta:



Di mana seorang anak kalut berat tak ada biaya, bingung harus membawa ke mana lagi bapaknya yang berhari-hari sakit keras. Sanak saudaranya menolak untuk menampung, karena juga (lagi-lagi) tak ada tempat - tak ada biaya untuk merawat dan mengurus. Akhirnya si anak menggeletakkan si bapak di bawah jembatan Fly Over; dibiarkannya terkena angin kencang, debu, polusi kendaraan bermotor, dan MATI!. Itu satu contoh kasus saja, aku yakin sekali ada banyak kasus serupa yang dialami oleh banyak rakyat Indonesia saat ini.


Keterbukaan politik seperti sekarang ini dari hasil penjatuhan rezim otoriter Soeharto telah melahirkan banyak gerakan rakyat. Organisasi-organisasi rakyat progressif lahir-tumbuh-jatuh bangun berjuang demi menuntaskan agenda-agenda reformasi yang tertunda-tunda. Buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota membangun wadah-wadah perjuangannya. Perjuangan sudah tidak bisa lagi dilakukan sendiri-sendiri lagi. Perjuangan sudah masuk dalam tahap untuk bersatu membangun kekuatan rakyat yang kuat antar sektor. Bahkan dalam waktu tidak lama lagi akan terwujud dalam satu front gerakan rakyat, nyata dan siap merespon situasi nasional apapun.


Di lapangan seni budaya, khususnya musik, serbuan grup-grup musik ataupun komunitas kesenian ayang progresif telah menghasilkan karya-karya yang turut mengiringi, menyemangati perjuangan rakyat lewat lagu-lagu perlawanan/pembebasan. Mereka datang menyeruak pekatnya belantara hegemonik grup-grup populer yang besar di bawah raksasa-raksasa industri musik: Musica, EMI, Sony BMG, Aquarius Music, sehingga lahirlah Sheila On 7, Radja, Peter Pan, Dewa 19, Samsons, Nidji, ADA Band yang (melulu) ngomong asmara sampe muntah muntah di sepanjang album mereka.


Grup-grup musik progresif, walau berada dalam kondisi serba terbatas; minim dalam hal ekonomi, latar belakang pendidikan musik, fasilitas berkesenian dan sebagainya, toh tak menyurutkan semangat untuk tetap berkarya - berjuang menyebar luaskan pikiran-pikiran maju. Lirik-lirik lagunya menggedor kesadaran minim rakyat tentang adanya penindasan. Tentang adanya penjajahan yang masih terus terjadi di bumi Indonesia. Tak luput juga ketidakadilan sosial yang dirasakan rakyat banyak menjadi tema sentral di lagu-lagu mereka. Bernyanyi menyuarakan perlawanan, menciptakan mars perjuangan, memberitahu bahaya militerisme, memperkenalkan musuh-musuh penindas rakyat, bahkan hingga cita-cita sosialisme dikabarkan dengan lagu sebagai jalan keluar menuju kesejahteraaan rakyat yang sejati.Berikutnya saya akan mencoba menjentrengkan grup-grup/komunitas seni/individu progressif berikut album karya mereka yang telah ada. Maaf bila kurang lengkap dan ada yang terlewat, sebab saya masih terus mengumpulkan data-data tentang mereka, agar bertambah kaya data nantinya. Tapi sebelum ke sana, kita perlu kilas balik ke masa perjuangan kemerdekaan- yang juga telah melahirkan para seniman musik bersama karya dan kisah revolusioner mereka. Tentu bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita, dan sedikit banyak jadi inspirasi para seniman musik progresif era sekarang. Kita mulai saja dari:


Ismail Marzuki (1914-1958). Di dalam lagu-lagu ciptaannya, agaknya Ismail Marzuki begitu jeli memilih kisah perjuangan dengan kisah kehidupan sehari-hari terutama percintaan, serta memadukan kisah-kisah percintaan di antara lagu-lagu perjuangan. Inilah yang terasa menjadi ciri khas pada lagu-lagu ciptaanya. Lagu itu sendiri menjadi lebih hidup serta terasa segar di sepanjang masa.


Dalam usia 30 tahun, ciptaan Ismail Marzuki mulai memperlihatkan bobot yang lebih berat dalam unsur melodi, syair dan intensitasnya serta kemahirannya dalam meleburkan perlambangan asmara dengan perjuangan untuk tanah air. Hal ini terlihat, pada tahun 1944, di lagu ciptaannya yang berjudul Rayuan Pulau Kelapa di mana melodi serta syairnya telah memiliki bobot yang matang. Dipandang dari nafas lagu-lagu dan syair ciptaannya, Ismail Marzuki merupakan seorang nasionalis yang setia pada cita-cita perjuangan kemerdekaan, pada kehidupan rakyat dan pada ibu pertiwi. Hal ini terlihat dari karya-karyanya, yang berjumlah lebih dari 200 buah, yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan. (Dari Katalog Ismail Marzuki; Komponis Pejuang 1985)


H.Mutahar. Pencipta lagu Syukur dan Hari Merdeka ini lahir di Semarang 5 Agustus 1916. Lagu Syukur merupakan lagu yang ia ciptakan jauh saat republik Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah. Lewat lagu itu, ia sebarkan impiannya tentang kemerdekaan Indonesia. H.Mutahar wafat 10 Juni 2004 di Jakarta.


Ibu Sud, atau yang bernama lengkap Saridjah Niung Bintang Soedibio ini adalah salah seorang pencipta lagu anak-anak. Karirnya sudah dimulai bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, ia sangat tergerak untuk mulai berkarya karena dulu anak-anak Indonesia kurang berbahagia. Alangkah indahnya kalau mereka dapat menyanyikan lagu berbahasa Indonesia. Ia sendiri kesal karena harus mengajarkan lagu berbahasa Belanda pada murid-murid Indonesia. Kemudian terlintaslah gagasan untuk membuat lagu-lagu untuk mereka. Tujuannya tidak lain ialah untuk memberikan kegembiraan kepada anak-anak, kemampuan berimajinasi, sehingga pada akhirnya dapat mencipta dan bekerja.


Lagu-lagu Ibu Sud, menurut Pak Kasur, mempunyai semangat patriotisme yang tinggi. Sebagai contoh, patriotisme tampak dalam lagunya yang berjudul Berkibarlah Benderaku. Lagu itu diciptakan beliau ketika melihat kegigihan Yusuf Ronodipuro, seorang pimpinan RRI pada tahun-tahun pertama Indonesia. Yusuf menolak menurunkan Sang Saka Merah Putih yang sedang berkibar di kantornya, walaupun dalam ancaman senjata api. Beberapa lagu lainnya antara lain: "Hai Becak", "Burung Ketilang, dan Kupu-Kupu. Ketika genting rumah sewaannya dulu, di Jalan Kramat Jakarta bocor, ia membuat lagu Tik Tik Bunyi Hujan....


Kebisaannya di bidang musik sebagian didapatnya dari ayah angkatnya, Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, seorang pensiunan Wakil Ketua Ketua Hooge Rechtshof (Kejaksaan Tinggi) di Jakarta, yang selanjutnya menetap di Sukabumi (seorang indo-Belanda -- beribukan keturunan Jawa ningrat -- Ibu Sud dibiasakan mencintai bangsanya). Ibu Sud turut mengiringi Indonesia Raya melalui biola saat lagu itu pertama kali dikumandangkan di Gedung Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Waktu itu ia sudah menjadi Nyonya Bintang Soedibio (almarhum, meninggal 1954).

Di tahun-tahun perjuangan, Ibu Soed juga bersahabat dengan Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Kusbini, dan tokoh nasionalis lain. Ayahnya yang sebenarnya Mohamad Niung, pelaut asal Bugis yang kemudian menjadi pengawal Mr. Kramer. Saridjah lahir sebagai anak bungsu dari 13 bersaudara -- 11 di antaranya sudah meninggal. Ibu Sud sekarang telah mencapai usia tuanya, hidup ditemani cucu dan buyut. Ia bertekad untuk tetap mencipta lagu dan membatik. Meskipun bukan pengusaha batik, tetapi ia ingin menghargai nilai seni di baliknya.


(Dari hal web:http://id.wikipedia.org/wiki/Ibu Sud)


Cornell Simanjuntak kita kenal sebagai komponis yang menciptakan Indonesia Tetap Merdeka dan Pada Pahlawan. Di masa mudanya aktif berjuang dan bergabung dengan tentara pelajar, pernah tertembak dalam sebuah pertempuran sengit melawan militer belanda. Belanda terus memburu dan menyisir basis/markas gerakan pejuang-pejuang kita waktu itu hingga seorang Cornell Simanjuntak yang menderita luka harus menjalani pengobatan dengan berpindah-pindah tempat.


Dalam masa penyembuhan, dan bayang ancaman tentara Belanda yang sewaktu-waktu datang menyerang, seorang Cornell Simanjuntak terus saja menunjukkan semangatnya yang luar biasa dan tak surut. Kondisi luka yang harusnya ia gunakan buat istirahat agar cepat sehat dan pulih, malah ia habiskan waktunya dengan mengutak-atik penggalan karya-karya yang belum selesai- hingga terciptalah sebuah mars yang begitu menggelora dan kerap masih kita lagukan hingga saat ini: Maju Tak Gentar.


Itulah kisah para komponis pejuang kita dahulu. Memang masih kurang lengkap karena ada periode yang terputus, yaitu kurun waktu paska kemerdekaan- kala pimpinan politik masih berada dalam genggaman Soekarno. Kurun waktu itu juga melahirkan para pemusik/musisi dengan corak karyanya yang anti imperialis, anti terhadap penjajahan asing, karena setelah lepas dari belanda, Republik kembali siap ‘disantap’ oleh Amerika dan sekutu-sekutunya. Soekarno yang pro rakyat tak bosan-bosan berteriak bahwa revolusi belum selesai. Seluruh sektor massa rakyat harus menghalau setiap ancaman yang datang, yang akan masuk lewat modal, lewat kebudayaan dan sebagainya. Bahwa republik harus mandiri dalam 3 hal, yakni mandiri dalam hal politik, mandiri dalam hal ekonomi serta mandiri dalam hal kebudayaan.


Itulah yang selalu ditekankan seorang Soekarno kala itu. Kurun waktu itu tercipta karya-karya seperti; Awas Inggris Amerika, RESOPIM (Revolusi Sosialis Pimpinan), Nasakom Bersatu dan lain-lain. Sayang, aku baru mengenal satu nama saja untuk salah satu karyanya di atas, yakni Soebronto K Admodjo dengan RESOPIM-nya. Kembali aku harus mencari lagi data (pencipta dan berikut karyanya) di kurun waktu tersebut.


Baik, sambil terus mencari data guna kelengkapan tulisan ini berikutnya, maka marilah kita maju terus ke periode kala Orde Baru- yang lahir dari rahim orde lama. Suatu peristiwa sejarah peralihan kekuasaaan politik yang amat berdarah-darah karena harus mengorbankan sekian juta nyawa manusia.


Iwan Fals. Sosok ini banyak melahirkan karya sarat dengan tema-tema sosial. Mulai dari Oemar Bakri, Sore Tugu Pancoran, Kontrasmu Bisu, Sugali, Terminal, Wakil Rakyat, Ethiopia, 1910, Sarjana Muda dan banyak lagi. Masa tahun 80an – 90an hingga sekarang tak ada yang tak kenal Iwan Fals. Lagunya jadi lagu wajib bagi pengamen dan anak muda yang pada nongkrong di ujung gang. Sekitar 23 album telah dihasilkan, baik saat solo maupun bergabung dalam grup Swami, Dalbo & Kantata Takwa.


Kelompok (Bram) Kampungan. Grup musik yang pernah menjadi semacam simpul sikap perlawanan di kalangan anak-anak muda dan mahasiswa pada tahun 1970-an. PADA zamannya, Bram Makahekum dan teman-temannya dalam Kelompok Kampungan diam- diam menjadi "pahlawan" beberapa anak muda dan mahasiswa. Kelompok Kampungan, yang dibentuk oleh Bram dan teman-temannya yang sebagian besar adalah awak Bengkel Teater Rendra pada tahun 1975, di tengah kesumpekan suasana pada masa itu, dengan lantang menyerukan gugatannya. Lihatlah lirik lagunya, misalnya dalam lagu Berkata Indonesia dari Yogyakarta:

"Dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda/Anak muda Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya memasuki kota Yogyakarta..."


Pada bait yang lain,

"Kini bukan lagi gengsi suku yang mereka bicarakan/Tetapi gengsi generasi muda Indonesia/Sebagai penerus perjalanan bangsa/Mereka memasuki bangku sekolah dari universitas/Serta menempa kepribadian di berbagai aktivitas kesenian".


Mereka berkeliling dari kampus ke kampus, berpentas di panggung yang selalu mengandung kemungkinan untuk "diberhentikan" oleh tentara dari rezim militer Orba kala itu. Sebaliknya, ihwal seperti itu justru menjadikan Kelompok Kampungan semakin populer. Seperti ditulis di buku pengantar pertunjukan Kelompok Bram Kampungan di TIM belum lama ini, eksistensi Kelompok Kampungan dan musiknya sering menjadi bahan diskusi di kampus-kampus. Hal demikian terus berlanjut sampai akhirnya perusahaan rekaman Akurama Record tertarik merekam lagu-lagu mereka. Maka lahirlah album (satu-satunya) Kelompok Kampungan berjudul Mereka Mencari Tuhan. Hanya dengan satu album yang terdiri dari lagu-lagu seperti Bung Karno, Mereka Mencari Tuhan, Ratna, Berkata Indonesia dari Yogyakarta, Drama, Kalau, dan Wanita (sebagian besar ditulis Bram Makahekum, sebagian lagi ada kesertaan Rendra, Sawung Jabo, Eddy Haryono, dan Joko).

Kelompok Kampungan menjadi kelompok yang terus dikenang. Kenangan atas Kelompok Kampungan identik dengan kenangan atas masa tahun 1970-an, termasuk "romantisme" kehidupan anak-anak muda di Yogyakarta kala itu-sebuah kota yang menyimpan elan vital perjuangan. Rendra menggambarkan ulah Bram dan kawan-kawannya sebagai ulah "daya hidup dari manusia yang menolak ditundukkan".

KINI musim memang telah berganti. Bagi yang menjalani kehidupan di Yogyakarta pada masa itu, Yogya masa kini tentulah sudah lain situasinya. Yogya masa kini adalah kota yang cenderung menjadi mahal, sejumlah orang kota membangun rumah mewah di situ, mahasiswa-mahasiswa bersantai di mal dan kafe, pakaiannya dicucikan di laundry, dan seterusnya. Daya hidup telah ditundukkan konsumtivisme.


Hanya saja, ada juga yang tampaknya tak terlalu berubah, di antaranya Kelompok Kampungan. Pada mereka pula, sejumlah "veteran Yogya" yang kini tinggal di Jakarta, ingin menikmati cita rasa "daya hidup" itu. Makanya, dalam dua hari pertunjukan Kelompok Kampungan di TIM itu, dengan mudah penonton menemukan orang-orang yang dikenalnya, pernah dikenalnya, semasa di Yogya dulu. Selain Bram, hanya beberapa saja dari belasan anggota Kelompok Kampungan yang merupakan muka lama. Mereka adalah Bujel Dipuro, Innisisri, dan Agus Salim. Selebihnya adalah muka-muka baru, yakni Herwin Wijanarko Setiawan, Agung Prasetyo, Doyok Wardoyo, Jayus Stugor, Imoeng Moelyadi, Ari Sumarsono, Agam Hamzah, dan Guntur Nur Puspito. Mereka semua seperti trademark mereka sejak dulu-bersarung. Sebagian instrumen musik mereka adalah instrumen musik tradisional Jawa berupa kendang, gong, suling bambu, dan lain-lain.


Dalam hal ini, meski mereka memakai gamelan Jawa dipadukan instrumen Barat seperti gitar listrik, konsep musik mereka sebenarnya tidaklah "kampungan"- bahkan terkesan modern. Apalagi, kalau dibandingkan dengan konsep di balik musik yang digemari di Jawa Tengah kini, yakni "campur sari". Organisasi bunyi pada musik Kelompok Kampungan adalah organisasi bunyi modern dengan struktur yang bisa ditemui pada musik-musik Barat. Melodi lagu-lagu mereka rata-rata bagus, dengan lirik yang puitis dan gagah ("Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan tetap terjaga"-bait lagu Aku Mendengar Suara). (Sumber: BRE)John Tobing. Menciptakan lagu Darah Juang sebagai lagu perjuangan mahasiswa Indonesia yang lahir sebelum Soeharto jatuh dan semakin popular di era reformasi dan kini. John Sonny Tobing lengkapnya; Ketua KM UGM pertama, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta sekitar tahun 1990. Lirik lagu ini dikerjakan bersama Andi Munajat (Fakultas Filsafat UGM). Lagu ini kemudian kerap dinyanyikan, dan dianggap sebagai lagu wajib dalam setiap demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia.


Hymne Darah Juang juga diyakini mampu menguatkan iman perjuangan dan selalu dinyanyikan dengan mengepalkan tangan kiri ke angkasa- bahkan pernah dinyanyikan dengan penuh hikmat sebelum barisan massa melakukan pertempuran jalanan melawan alat-alat represif negara. Karya ciptanya yang lain; Untuk Indonesia, Lawan!, dan Doa.


Syafei Kemamang. Tak banyak yang tahu kalau pria asal Lamongan, Jawa Timur inilah yang menciptakan Mars Revolusi dan Mars Buruh Tani, dua lagu wajib bagi semua aksi massa turun ke jalan. Hingga saking populernya, dua lagu tersebut banyak dibawakan band-band punk dalam aransement musik bertempo cepat dan juga pernah digubah syairnya menjadi lagu penyemangat suporter klub sepakbola.


Widji Thukul. Kita lebih mengenalnya sebagai seorang penyair revolusioner. Puisi-puisinya begitu mengerikan bagi rezim orde baru kala itu. Saat semua mulut bisu dibungkam ketakutan, Widji lantang berteriak; LAWAN! lewat puisinya. Saat semua orang berbondong-bondong ke kotak suara untuk coblosan pemilu, Widji malah masuk kamar mandi dan membacakan puisinya keras-keras;

“pemilu ohh..pilu!..pilu!../pada saat coblosan nanti/aku tidak akan kemana-mana..

aku akan di rumah saja/menanak nasi/nyambel bawang – ikan asin/aku akan bersiul-siul/


lalu berteriak: pemilu ohh..pilu!..pilu!..”


Tak hanya berpuisi, Widji Thukul yang juga salah seorang pendiri Jaker dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga menciptakan lagu-lagu satir khas karyanya: Apa Guna, Sungguh Enak Hidup Di Televisi yang biasa ia bawakan sebelum membacakan puisi.


LONTAR Band. Akhir 1994 adalah tiga orang yang membentuk kelompok musik kecil, yakni BimPet (nama panggilan Bimo Petrus) dan Babe (nama panggilan David Kris) memainkan gitar, lalu Jaka Sadewa sebagai penyanyinya. Kelompok musik tanpa nama ini lambat laun mulai membuat lagu, di antaranya; Anak Bangsa, Pasti Menang, Simarsi (nah..), Karna aku Cinta, Indonesia (C) Emas dan Mana Buku dan Guruku. Februari 1995, melalui saran Heru Krisdianto, koordinator Komite Solidaritas Mahasiswa Universitas Airlangga (sebuah organisasi gerakan mahasiswa di era tahun 1990-an), maka bergabunglah Chris (nama panggilan Christanto) sebagai drummer dan Inuk (nama panggilan Wisnu Wardhana) sebagai gitaris. Adapun mereka berdua adalah personil di Sianida band. Maka lengkaplah formasi kelompok musik ini, untuk semakin menegaskan visi dan misinya. Maret 1995, pemberian nama pun diilhami dari nama sebuah bulletin KSM UNAIR yakni LONTAR. Nama LONTAR tak hanya bermakna pelontaran gagasan atau ide semata, namun dipahami sebagai daun siwalan yang konon berfungsi menjadi kertas tulis untuk menuangkan berbagai filosofi kehidupan manusia di masa lalu. Dengan demikian LONTAR pun akan dipahami sebagai: (1) media belajar bersama (melalui musik) agar mempersatukan pemikiran kritis, kesadaran baru, tindakan dan semangat melakukan perubahan mencapai cita-cita membangun kehidupan bersama yang lebih manusiawi. Karena itulah teks-teks LONTAR sarat akan tema kritis tentang hak asasi manusia, anti kekerasan/ diskriminasi/ rasisme, ajakan untuk perubahan menuju kehidupan bersama yang lebih baik.


LONTAR merupakan contoh konkrit grup musik yang sangat peduli terhadap masalah-masalah tersebut.1 Motivasi dan idealisme melalui kebebasan berekspresi dalam bermusik inilah yang merupakan pula bentuk kontra kultura, yang dimunculkan LONTAR di masyarakat, sarat dengan lirik kritis.2 Seiring dengan perkembangan sosial politik masyarakat kala itu. April 1995 15 April 1995, pementasan LONTAR yang pertama kali pada panggung Malam Chairil Anwar yang digelar oleh Program Studi Sastra Indonesia FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Akhirnya disepakati bersama bahwa tanggal tersebut adalah hari kelahiran LONTAR. LONTAR Band; telah 10 kali berganti formasi, menghasilkan 3 album (Marah, Setengah Tiang untuk Demokrasi, Indonesia, Siapa Yang Punya..?), malang melintang dan dikenal luas oleh khalayak musik (rock) Surabaya hingga kini masih tetap eksis bermusik di bawah Rights Management. (Sumber dari Larik_Balik_LONTAR).


Sanggar Satu Bumi. Didirikan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 2003 oleh beberapa seniman yang berminat pada seni musik dan puisi; Andrian Romico, AJ Susmana, Winarso, Dompak, Kuncoro Adi Broto & Tejo. Telah mendokumentasi dua album lagu perjuangan demokratik; Tidur.. Jangan! & Nyanyian Akar Rumput.


MARJINAL. Sebuah grup musik beraliran punk-rock yang cukup terkenal dan berasal dari Jakarta. Kelompok musik ini sebelumnya bernama Anti Military. Melalui lirik-lirik lagunya, Marjinal dapat dikategorikan sebagai kelompok musik berhaluan anarko-punk, karena liriknya banyak memuat tema-tema politik, dan semangat perubahan sosial. Beberapa lagu yang diciptakan oleh mereka banyak dinyanyikan oleh para aktivis yang sedang berdemonstrasi. Sejak berdirinya, kelompok ini telah menghasilkan beberapa album, di antaranya adalah: Anti Military, Termarjinalkan & Predator. Band yang bermarkas di Depok ini eksis membangun komunitas musiknya. Penggemar fanatik Marjinal kerap melakukan koor sembari moshing saat lagu Hukum & Marsinah digeber di atas panggung.


Kepal-SPI. Berawal dari organisasi pengamen progresif yang berkarya dengan tema-tema sosial politik, lalu ada niatan untuk membakukan karya-karya mereka ke dalam bentuk kaset/CD, agar nilai-nilai baik di lagu-lagu mereka tersebar luas dan bisa didengar banyak orang. Maka, di awal tahun 2006, keluarlah album pertama; Turun Ke Jalan. Anak-anak Kepal-SPI memang senang guyon, nyeleneh plus tingkah polah lain yang kerap mengundang tawa, tapi saat bermusik mereka cukup serius. Dari beberapa kali pengamatanku melihat aksi panggung mereka, I Bob si vokalis sangat komunikatif dengan penonton. Tidak hanya (melulu) agitatif seperti banyak dilakukan band-band progresif lain, tapi juga mampu menghilangkan jarak dengan penonton; mengajak bernyanyi bareng, memberi tebakan berhadiah pin/sticker, memperkenalkan album mereka, hingga penonton betah menyaksikan dan bertahan hingga bubar.


Red Flag. Band Reggae dari Lampung ini seperti hendak mengembalikan semangat/roh musik reggae yang anti penindasan itu. Begitu banyak komunitas musik reggae yang ada tapi hanya sedikit sekali yang menjadikannya sebagai alat pembebasan kaum buruh yang diperlakukan tak adil oleh elit-elit kekuasaan; seperti lagu-lagu milik ikon reggae dunia; Bob Marley. Red Flag, satu dari sekian banyak grup reggae itu coba mengembalikan semangat pembebasan reggae ke rel yang sejatinya. Maka tanpa ragu mereka melantunkan Buruh Tani, Fighf For Socialism, G/28/S/TNI dsb pada album ‘One Song One Struggle’.


Red Flag sepertinya ingin bilang bahwa reggae tak hanya gaya rambut dreadlock atau biasa disebut gimbal, tak sekedar atribut merah-kuning-hijau, tapi reggae adalah pesan-pesan untuk membangkitkan semangat pembebasan. Seperti semangat pada lirik lagu Bob Marley "emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds" dari lagu Redemption Song yang merupakan ajakan untuk meninggalkan mental budak dari diri manusia.


Tari Adinda. Perawakannya kecil saja, tapi siapa sangka kalau gadis itu punya kemampuan besar karena telah menciptakan puluhan lagu. Keterlibatannya dalam organisasi buruh (FNPBI) sedikit banyak telah merubah pemahamannya tentang banyak hal; sosial, politik maupun tentang pentingnya membangun organisasi. Seringnya berinteraksi dalam kerja-kerja revolusioner; berdiskusi, ikut pendidikan, aksi massa juga telah mengubah kandungan bagi lirik-lirik lagu yang diciptakannya. Kalau dulu liriknya hanya berkutat pada masalah/tema-tema asmara antara pria dan wanita, maka sekarang mulai merambah pada tema kehidupan buruh; soal gajian, soal makanan yang dikonsumsi di pabrik, soal sistem kontrak, dan memang lagu-lagu Tari (yang balada & mengingatkan kita pada Iwan Fals) begitu mudah dihafal dan cepat akrab ditelinga.


Bila ingin menyimak lagu-lagunya, silahkan putar CD album pertama Tari Adinda; Buruh Kontrak yang awal Juni lalu diproduksi oleh Sanggar KAPUAS Cakung.


Demikian rentetannya, sebenarnya masih ada banyak yang terlewat, karena kembali aku masih minim sekali data. Tapi bolehlah aku menyertakan/menyebut nama mereka di akhir tulisanku ini, karena mereka juga punya semangat dan cita-cita yang sama dengan grup-grup yang telah aku tulis diatas. Di lain waktu tentu kita akan kupas habis tentang mereka; baik karya maupun profile dari TehnoShit, Segorames, JERUJI, Mukti Mukti, COMERADE, Gestapu, GERIGI, dan lainnya. Maka sambutlah serbuan musik perlawanan – musik pembebasan dari grup-grup yang bemusik..bernyanyi dan berjuang untuk mengakhiri penindasan.

No comments: